Herman Shofyan
BUDAYA TARUNG PERESEAN
peresean sesungguhnya lebih mirip aksi gladiator zaman Romawi Kuno, tapi minus pedang. Senjata yang dipakai dalamperesean hanyalah penjalin (rotan) untuk pemukul, dan perisai (ende) yang terbuat dari kayu yang dilapisi kulit sapi.
Pertarungan peresean sangat agresif. Diiringi tabuhan gamelan yang provokatif dan menggugah semangat tarung. Alat musik pengiringnya antara lain kendang, suling, gong, rincik/simbal, serta kajar.
Di arena peresean, para petarung sa ling serang untuk menjatuhkan lawan. Sesekali mereka menari-nari setelah mendapatkan sabetan penjalin untuk mengaburkan rasa sakit.
Memukul kepala lawan menjadi sasaran utama agar meraih kemenangan mutlak. Penonton peresean selalu terbawa emosi perang dan andrenalinnya tergugah saat menyaksikan para petarung saling serang.
Petarung yang andal (pepadu) meng akhiri pertarungannya dengan bekas pukulan penjalin yang mengerikan. Bilur-bilur merah tampak pada kulit bagian punggung dan tangan, bahkan ada yang sampai menyobek lapisan kulit. Beberapa pulang dengan kepala bocor dan harus mendapatkan jahitan tim medis yang sudah siap di sekitar arena peresean.
Pepadu tidak juga mengutamakan menang atau kalah. Mereka juga tidak mengejar hadiah. Pepadu bertarung untuk hiburan.
Di arena peresean, pepadu lebih menonjolkan spor tivitas dan mengasah mental. Meskipun berdarah-darah, pertarungan tidak akan dilanjutkan di luar arena. Tidak ada istilah balas dendam. Sudah dijamin, adu ketangkasan yang berisiko tinggi itu hanya terjadi di dalam arena.
Peresean dipimpin seorang wasit (pekembar). Pekembar ada dua, yaitu wasit pinggir (pekembar sedi) yang mencari pasangan petarung yang akan diadu di arena, dan wasit tengah (pekembar tengah) yang memimpin pertandingan.
Pekembar yang memimpin pertarungan akan membunyikan peluit saat akan menghentikan pertarungan. Peresean untuk pemula hanya berlangsung tiga ronde. Tetapi untuk level senior, para pepadu akan bermain empat ronde. Pemula biasanya hanya mencari lawan tanding secara acak di sekitar arena pertarungan. Biasanya ditunjuk dari penonton yang semuanya memang sudah siap bertarung jika mendapatkan lawan tanding yang seimbang.
Untuk event besar, para pepadu luar daerah dari seluruh Nusa Tenggara Barat akan diundang. Biasanya saat digelar acara seperti itu, para pepadu senior akan turun gunung mewakili daerah masing-masing.
Jika para pepadu senior bertarung, sudah dijamin pertarungan akan mene gangkan. Jika pepadu ditunjuk bertarung dan diberi lawan, mereka pun pantang menolak. Pepadu akan masuk arena dan memulai pertarungan.
Peresean dari suku Sasak tidak hanya mengandalkan mental, tetapi juga fi sik, teknik bertarung, dan mistis. Sebab, pepadu tidak dilarang membawa jimat kekebalan dan arena peresean kerap dipakai untuk adu sakti antar-pepadu.
Sering kali terjadi, ketika pepadu sudah berada di dalam arena, pertarungan tidak dilanjutkan karena salah satu di antara pepadu merasa kalah secara mistis. Senjata penjalin yang dipakainya berubah menjadi lembek dan tidak bisa dipakai bertarung.
Pertarungan peresean juga merupakan ajang mempertahankan harga diri pepadu. Tiap pepadu memiliki teknik untuk menghindari kekalahan yang memalukan. Untuk itu, mereka mengikat kepala memakai sapuq dengan teknik tersendiri agar ketika terkena kepala dan membuat bocor, tidak terlihat oleh penonton.
Pepadu yang sudah terkenal di Pulau Lombok biasanya memiliki nama julukan. Seperti sebutan Arya Kamandanu dan Piring Nadi. Julukan tersebut diberikan sesuai dengan kelihaian bertarung di arena peresean.
Salah satu pepadu yang memiliki julukan Piring Nadi menceritakan penga lamannya, bahwa saat bertarung di arena, ia menggunakan jurus bertarung untuk mengalahkan lawan. Salah satu jurus sederhananya adalah membuat pukulan tipuan agar bisa melukai lawan.
Peresean terus lestari di Pulau Lombok Hingga sekarang, seni tradisi masa lampau itu masih dimainkan paling tidak saat perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, musim kemarau untuk memohon hujan, pensucian benda-benda pusaka dan masih banyak lagi. Tujuannya bukan untuk jago-jagoan, melainkan hanya untuk hiburan dan mengetes mental para pemuda.
Pertarungan peresean sangat agresif. Diiringi tabuhan gamelan yang provokatif dan menggugah semangat tarung. Alat musik pengiringnya antara lain kendang, suling, gong, rincik/simbal, serta kajar.
Di arena peresean, para petarung sa ling serang untuk menjatuhkan lawan. Sesekali mereka menari-nari setelah mendapatkan sabetan penjalin untuk mengaburkan rasa sakit.
Memukul kepala lawan menjadi sasaran utama agar meraih kemenangan mutlak. Penonton peresean selalu terbawa emosi perang dan andrenalinnya tergugah saat menyaksikan para petarung saling serang.
Petarung yang andal (pepadu) meng akhiri pertarungannya dengan bekas pukulan penjalin yang mengerikan. Bilur-bilur merah tampak pada kulit bagian punggung dan tangan, bahkan ada yang sampai menyobek lapisan kulit. Beberapa pulang dengan kepala bocor dan harus mendapatkan jahitan tim medis yang sudah siap di sekitar arena peresean.
Pepadu tidak juga mengutamakan menang atau kalah. Mereka juga tidak mengejar hadiah. Pepadu bertarung untuk hiburan.
Di arena peresean, pepadu lebih menonjolkan spor tivitas dan mengasah mental. Meskipun berdarah-darah, pertarungan tidak akan dilanjutkan di luar arena. Tidak ada istilah balas dendam. Sudah dijamin, adu ketangkasan yang berisiko tinggi itu hanya terjadi di dalam arena.
Peresean dipimpin seorang wasit (pekembar). Pekembar ada dua, yaitu wasit pinggir (pekembar sedi) yang mencari pasangan petarung yang akan diadu di arena, dan wasit tengah (pekembar tengah) yang memimpin pertandingan.
Pekembar yang memimpin pertarungan akan membunyikan peluit saat akan menghentikan pertarungan. Peresean untuk pemula hanya berlangsung tiga ronde. Tetapi untuk level senior, para pepadu akan bermain empat ronde. Pemula biasanya hanya mencari lawan tanding secara acak di sekitar arena pertarungan. Biasanya ditunjuk dari penonton yang semuanya memang sudah siap bertarung jika mendapatkan lawan tanding yang seimbang.
Untuk event besar, para pepadu luar daerah dari seluruh Nusa Tenggara Barat akan diundang. Biasanya saat digelar acara seperti itu, para pepadu senior akan turun gunung mewakili daerah masing-masing.
Jika para pepadu senior bertarung, sudah dijamin pertarungan akan mene gangkan. Jika pepadu ditunjuk bertarung dan diberi lawan, mereka pun pantang menolak. Pepadu akan masuk arena dan memulai pertarungan.
Peresean dari suku Sasak tidak hanya mengandalkan mental, tetapi juga fi sik, teknik bertarung, dan mistis. Sebab, pepadu tidak dilarang membawa jimat kekebalan dan arena peresean kerap dipakai untuk adu sakti antar-pepadu.
Sering kali terjadi, ketika pepadu sudah berada di dalam arena, pertarungan tidak dilanjutkan karena salah satu di antara pepadu merasa kalah secara mistis. Senjata penjalin yang dipakainya berubah menjadi lembek dan tidak bisa dipakai bertarung.
Pertarungan peresean juga merupakan ajang mempertahankan harga diri pepadu. Tiap pepadu memiliki teknik untuk menghindari kekalahan yang memalukan. Untuk itu, mereka mengikat kepala memakai sapuq dengan teknik tersendiri agar ketika terkena kepala dan membuat bocor, tidak terlihat oleh penonton.
Pepadu yang sudah terkenal di Pulau Lombok biasanya memiliki nama julukan. Seperti sebutan Arya Kamandanu dan Piring Nadi. Julukan tersebut diberikan sesuai dengan kelihaian bertarung di arena peresean.
Salah satu pepadu yang memiliki julukan Piring Nadi menceritakan penga lamannya, bahwa saat bertarung di arena, ia menggunakan jurus bertarung untuk mengalahkan lawan. Salah satu jurus sederhananya adalah membuat pukulan tipuan agar bisa melukai lawan.
Peresean terus lestari di Pulau Lombok Hingga sekarang, seni tradisi masa lampau itu masih dimainkan paling tidak saat perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, musim kemarau untuk memohon hujan, pensucian benda-benda pusaka dan masih banyak lagi. Tujuannya bukan untuk jago-jagoan, melainkan hanya untuk hiburan dan mengetes mental para pemuda.
0 comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR COY......!!!