Herman Shofyan
FENOMENA BOM BUKU
"Yang bisa melakukan itu adalah orang yang profesinya sebagai intelijen. Bisa saja agen intel yang melakukan pekerjaan itu. Orang biasa sulit," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (15/3).
Soeripto tidak yakin bom tersebut diprakarsai oleh teroris. Karena teroris di Indonesia hampir tidak lagi berjalan pasca-Abubakar Ba'asyir ditangkap.
Namun, yang perlu diperhatikan, kata Soeripto, intelijen tersebut bekerja untuk siapa atau siapa yang mengkoordinasi kegiatan mereka. Ia belum bisa menyebutkan siapa di balik pengeboman tersebut namun dia menilai tindakan tersebut merupakan perbuatan liar yang sulit terkontrol. "Intel kita saat ini sangat liar. Mereka tidak terkontrol, bekerja sesukanya,"ujarnya.
Soeripto menambahkan, hingga sekarang paradigma kerja intelijen Indonesia masih paradigma Orde Baru (Orba). Kekerasan selalu menjadi acuan untuk meredam kebebasan pihak lain atau ingin mengontrol pihak tertentu.
"Intelijen kita masih gunakan paradigma Orba. Intel masih bekerja represif. Padahal, intelijen kerjanya mengumpulkan data demi kepentingan negara," ujarnya.
Sementara itu, pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menjelaskan, di negara seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara, bom sering dipergunakan sebagai alat represif. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya menyampaikan kehendak atau aspirasi dengan cara yang biadab.
Di Indonesia, hal tersebut terjadi, kata Indria, karena hukum tidak lagi menjadi panglima. Hukum sering dibeli oleh kekuatan uang. "Banyak orang yang mengambil jalan pintas. Lebih baik bom daripada pakai langkah hukum,"terangnya.
FENOMENA BOM BUKU
Anggota Gegana Brimob memeriksa lokasi ledakan di kompleks Kantor Berita Radio 68H, Utan Kayu, Jakarta Timur. Bom diduga berasal dari sebuah paket buku yang dialamatkan ke Ulil Abshar Abdalla.
Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edi menilai, pengiriman bom buku kepada aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla, Kepala Badan Narkotika Nasional, Gories Mere, dan Ketua Umum Pemuda Pancasila, Yapto memiliki motif personal. Ada kelompok atau perseorangan yang tidak menyukai sikap ketiga orang tersebut.
"Karena individu itu pernah mengatakan sesuatu atau pikiran-pikiran tertentu atau tindakan-tindakan tertentu yang menyebabkan sekelompok orang atau lebih tidak menyukai secara personal. Atau orang itu menjadi simbol gerakan yang tidak disukai," katanya di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (16/3/2011).
Tjatur tidak melihat adanya motif politik terkait pengiriman tiga bom itu. "Seseorang diserang tidak hanya karena dia politisi, tapi masalah lain," ungkapnya.
Atas kejadian itu, Komisi III DPR meminta agar Kepolisian dapat mengantisipasi modus baru teror berupa penyerangan terhadap personal seperti pengiriman paket bom buku. DPR juga meminta Polisi menginvestigasi secara mendalam.
"Dalam jangka waktu dekat harus menemukan siapa pengirimnya, motifnya, dan siapa pembuatnya," tandasnya.
Seperti diberitakan, teror bom hadir lagi di Jakarta. Tiga paket beredar pada hari yang sama dan ditujukan kepada orang berbeda yaitu kepada aktivis Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar-Abdalla, Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP) Yapto S Soerjosoemarno, dan Kepala Pelaksana Harian BNN Komjen Pol Gorries Mere.
Bom yang ditujukan kepada Ulil meledak saat hendak dijinakkan Kasat Reskrim Polrestro Jakarta Timur Kompol Dodi Rahmawan. Lima orang terluka, termasuk Dodi yang tangan kirinya putus.Sementara dua bom lainnya berhasil dijinakkan.
Pengamat intelijen Soeripto menduga bom buku yang ditujukan kepada mantan Koordinarot Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla yang berkantor di Utan Kayu, Jakarta Timur, merupakan pekerjaan intelijen. Untuk situasi Indonesia saat ini, yang paling mungkin melakukan kekerasan dengan menggunakan bom adalah intelijen profesional.
"Yang bisa melakukan itu adalah orang yang profesinya sebagai intelijen. Bisa saja agen intel yang melakukan pekerjaan itu. Orang biasa sulit," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (15/3).
Soeripto tidak yakin bom tersebut diprakarsai oleh teroris. Karena teroris di Indonesia hampir tidak lagi berjalan pasca-Abubakar Ba'asyir ditangkap.
Namun, yang perlu diperhatikan, kata Soeripto, intelijen tersebut bekerja untuk siapa atau siapa yang mengkoordinasi kegiatan mereka. Ia belum bisa menyebutkan siapa di balik pengeboman tersebut namun dia menilai tindakan tersebut merupakan perbuatan liar yang sulit terkontrol. "Intel kita saat ini sangat liar. Mereka tidak terkontrol, bekerja sesukanya,"ujarnya.
Soeripto menambahkan, hingga sekarang paradigma kerja intelijen Indonesia masih paradigma Orde Baru (Orba). Kekerasan selalu menjadi acuan untuk meredam kebebasan pihak lain atau ingin mengontrol pihak tertentu.
"Intelijen kita masih gunakan paradigma Orba. Intel masih bekerja represif. Padahal, intelijen kerjanya mengumpulkan data demi kepentingan negara," ujarnya.
Sementara itu, pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menjelaskan, di negara seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara, bom sering dipergunakan sebagai alat represif. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya menyampaikan kehendak atau aspirasi dengan cara yang biadab.
Di Indonesia, hal tersebut terjadi, kata Indria, karena hukum tidak lagi menjadi panglima. Hukum sering dibeli oleh kekuatan uang. "Banyak orang yang mengambil jalan pintas. Lebih baik bom daripada pakai langkah hukum,"terangnya.
0 comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR COY......!!!