Showing posts with label Lombok. Show all posts
Showing posts with label Lombok. Show all posts

GANJA DARI TANAH SASAK

Yang saudara lihat dibawah ini sebenarnya bukanlah ganja melainkan deretan pohon tembakau, tembakau sendiri merupakan kerabat dekat dari ganja. Di lombok atau di suku sasak, tembakau banyak sekali ditanam oleh petani dimusim kemarau terutama diwilayah selatan yang sangat tandus. Selain karena tembakau tidak membutuhkan air yang banyak harga jualnya juga cukup tinggi. Seperti halnya ganja, tembakau juga bisa membuat kita ketergantungan. Anda mungkin pernah mendengar istilah "daun khas tanah rencong" yang merupakan istilah halus untuk ganja, mulai dari sekarang saya juga ingin menyebut tembakau sebagai "daun khas tanah sasak".... Keren bukan...????






KERAJAAN-KERAJAAN DI LOMBOK

puremeru-lombok Kerajaan Selaparang muncul pada dua periode yakni pada abad ke-13 dan abad ke-16. Kerajaan Selaparang pertama adalah kerajaan Hindu dan kekuasaannya berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Kerajaan Selaparang kedua adalah kerajaan Islam.
Secara selintas, urutan berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah ini bisa dirunut sebagai berikut, dengan catatan, ini bukan satu-satunya versi yang berkembang. Pada awalnya, kerajaan yang berdiri adalah Laeq. Diperkirakan, posisinya berada di kecamatan Sambalia, Lombok Timur. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi migrasi, masyarakat Laeq berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Pamatan, di Aikmel, desa Sembalun sekarang. Lokasi desa ini berdekatan dengan Gunung Rinjani. Suatu ketika, Gunung Rinjani meletus, menghancurkan desa dan kerajaan yang berada di sekitarnya. Para penduduk menyebar menyelamatkan diri ke wilayah aman. Perpindahan tersebut menandai berakhirnya Kerajaan Pamatan.
Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama Islam salah satunya (bukan satu-satunya) pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang muballigh dari kota Bagdad, Irak, bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan Ghaos Abdul Razak. Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga sebagai cikal bakal Sultan-Sultan dari kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Lombok.[2] Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sultan-Sultan di Pulau Lombok.
Betara Nala memiliki seorang putra bernama Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon Rambitan yang bernama asli Sayyid Abdrurrahman. Beliau ini dikenal pula dengan nama Wali Nyatok. Ia disebut sebagai pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Selaparang. Namun, ketinggian ilmu tarekatnya telah mendorongnya untuk mengundurkan diri dari panggung Kerajaan Kayangan dan kemudian menetap di desa Rambitan, Lombok Tengah, sebagai penyebar agama Islam di wilayah ini.
Wali Nyatok ini di Pulau Bali terkenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Dang Hyang Dwijendra. Adapun di Sumbawa terkenal dengan nama Tuan Semeru, sedangkan di Jawa beliau bernama Aji Duta Semu atau Pangeran Sangupati. Ia dikenal sebagai penyebar agama Islam, pun dianggap sebagai seorang Waliyullah. Ia mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan Wayang, Tasawuf dan Fiqh. Dalam proses menyebarkan agama Islam, salah satu media yang digunakannya adalah Wayang, sebagaimana yang dilakukan pula oleh Sunan Kalijaga. Adapun bentuk mistik Islam yang dibawanya merupakan kombinasi (sinkretisme) antara mistisme Islam (Sufisme) dengan salah satu ajaran filsafat Hindu, yaitu Advaita Vedanta.
Kembali ke soal Kerajaan Selaparang dan Ghaos Abdul Razak. Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya beliau masuk ke Pulau Lombok. Namun pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaos Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan. Iapun menetap dan berdakwah di sana. Ia mengawini Denda Bulan yang melahirkan seorang putra bernama Zulkarnain (dikenal juga dengan sebutan Pangeran Abdurrahman atau Syaikh Abdurrahman). Kemudian Ghaos Abdul Razak menikah lagi dengan Denda Islamiyah. Dari pernikahan yang kedua ini lahirlah Denda Qomariah yang populer dengan sebutan Dewi Anjani.
Sumber lain menyebutkan bawah Ghaos Abdul Razak memiliki dua orang anak, yaitu Rabi’ah dan Zulkarnain (disebut pula dengan Ghaos Abdurrahman). Zulkarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar Sultan Rinjani, dan Datu Selaparang, atau sering pula digabung menjadi Sultan Rinjani Selaparang. Beliau mempunyai tiga orang anak, yakni Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut, Sayyid Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah Qamariah alias Dewi Anjani (ada pula yang menyebut Dewi Rinjani).
Nah, sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak yang sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam, menjadi cikal bakal Sultan-Sultan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang (Kayangan). Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah: Tidakkah keduanya memang orang yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu sebagai Ghaos Abdul Razak, dan Wali Nyatok adalah Ghaos Abdurrahman. Hal itu masih dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan nama-nama berbeda ditempat yang berbeda.
Kejayaan Selaparang
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sultan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
Keruntuhan Selaparang
Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar Kerajaan Selaparang.
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu yakni Kerajaan Gelgel, Kerajaan Mataram Karang Asem dan terutama sekali Belanda?maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik. Pada akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali) yang mana pada saat itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang.[12] Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi.
Wilayah Kerajaan Selaparang
Setelah Pamatan berakhir, muncullah Kerajaan Suwung yang didirikan oleh Batara Indera. Lokasi kerajaan ini terletak di daerah Perigi saat ini. Setelah Kerajaan Suwung berakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok. Seiring perjalanan sejarah, Kerajaan Lombok kemudian mengalami kehancuran akibat serangan tentara Majapahit pada tahun 1357. M. Raden Maspahit, penguasa Kerajaan Lombok melarikan diri ke dalam hutan. Ketika tentara Majapahit kembali ke Jawa, Raden Maspahit keluar dari hutan dan mendirikan kerajaan baru dengan nama Batu Parang. Dalam perkembangannya, kerajaan ini kemudian lebih dikenal dengan nama Selaparang.
Menurut catatan sejarah masuknya ekspedisi Majapahit tahun 1343 M, di bawah pimpinan Mpu Nala. Ekspedisi Mpu Nala ini dikirim oleh Gajah Mada sebagai bagian dari usahanya untuk mempersatukan seluruh nusantara di bawah bendera Majapahit. Pada tahun 1352 M, Gajah Mada datang ke Lombok untuk melihat sendiri perkembangan daerah taklukannya. Ekspedisi Majapahit ini meninggalkan jejak Kerajaan Gelgel di Bali.
Di Lombok, berdiri empat kerajaan utama yang saling bersaudara, yaitu:
1. Kerajaan Bayan di barat
2. Kerajaan Selaparang di Timur
3. Kerajaan Langko di tengah
4. Kerajaan Pejanggik di selatan.
Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat beberapa kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong Samarkaton serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini takluk di bawah Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, kerajaan dan desa-desa ini kemudian menjadi wilayah yang merdeka.
Di antara kerajaan dan desa-desa di atas, yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Pusat kerajaan ini terletak di Teluk Lombok yang strategis, sangat indah dengan sumber air tawar yang banyak. Posisi strategis dan banyaknya sumbe air menyebabkannya banyak dikunjungi pedagang dari berbagai negeri, seperti Palembang,Banten, Gresik, dan Sulawesi. Berkat perdagangan yang ramai, maka Kerajaan Lombok berkembang dengan cepat.
Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya menempatkan Kerajaan Selaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Berkaitan dengan Selaparang, kerajaan ini terbagi dalam dua periode: pertama, periode Hindu yang berlangsung dari abad ke-13 M, dan berakhir akibat ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357 M; dan kedua, periode Islam, berlangsung dari abad ke-16 M, dan berakhir pada abad ke-18 (1740 M), setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kerajaan Karang Asem, Bali dan Banjar Getas.
Raja Lombok
disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi) dan Dompu.
Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang.
Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan. Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini.
Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622. Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Para Prajurit Kerajaan Lombok
Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab. Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Danghiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam.
Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini. Kerajaan ini berakhir pada tahun 1740 setelah ditaklukkan oleh gabungan Kerajaan Karangasem dari Bali dan Arya Banjar Getas yang merupakan keluarga kerajaan yang berkhianat terhadap Selaparang karena permasalahan dengan raja Selaparang.
Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Kec. Pejanggik cukup jauh dari desa Labulia yang berada di Kecamatan JonggatAtas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.
Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Demikianlah, Kerajaan Selaparang muncul, berkembang kemudian runtuh. Walaupun demikian, sisa-sisa peradaban tulis yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa, kehidupan budaya di negeri ini cukup semarak dan berkembang.
Menelusuri Sisa Majapahit di Lombok
Cakranegara yang kini salah satu pusat perniagaan di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pernah bikin cerita penting bagi Indonesia. Ekspedisi militer Belanda menggempur habis-habisan puri atau istana di Cakranegara, mengakibatkan kediaman Raja Karangasem yang penguasa wilayah Lombok, luluh lantak.
Sehari sebelum Cakranegara jatuh dalam kekuasaan Belanda, menurut telusur pustaka, pada 19 November 1894, dilaporkan sebuah temuan naskah sastra, yang ditulis di lembaran daun lontar di antara puing-puing reruntuhan itu.
Cakep (ikatan) daun til atau lontar itu adalah naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, seorang pujangga Jawa abad ke-14 M. Sewindu kemudian, naskah berbahasa Jawa Kuno diterbitkan dalam huruf Bali dan Bahasa Belanda oleh Dr JLA Brandes (1902), namun hanya sebagian. Disusul upaya penerjemahan oleh Dr JHC Kern tahun 1905-1914, dilengkapi dengan komentar-komentarnya
Baru pada tahun 1919, Dr NJ Krom menerbitkan utuh isi lontar Nagarakretagama. Krom juga melengkapinya dengan catatan historis. Naskah Nagarakretagama ini akhirnya diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Prof Dr Slametmulyana dan disertai tafsir sejarahnya. Menyusul kemudian, Dr Th Pigeud yang menerjemahkan Nagarakretagama ke dalam Bahasa Inggris.
Seperti diketahui kemudian, Nagarakretagama pernah disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda dengan nomor koleksi 5023. Pemerintah Belanda mengembalikannya ke Pemerintah Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kini naskah itu menjadi koleksi unggulan Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nagarakretagama, antara lain, berisi rekaman sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit, perjalanan Hayam Wuruk, Raja Majapahit, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, pemerintahan, kebudayaan, dan adat istiadat. Semua itu dikumpulkan dan digubah menjadi sebuah karya sastra oleh Mpu Prapanca, saat mengunjungi daerah-daerah kekuasaan kerajaan itu di Nusantara.
Lontar itu ada di Puri Cakranegara, Lombok, dibawa keluarga Kerajaan Kediri pada masa kekuasaan mereka di Karangasem, ujung timur Pulau Bali, sekitar akhir abad ke-17 M sampai pertengahan abad ke-18 M. Lombok sendiri merupakan wilayah kekuasaan Raja Karangasem, dan sebelumnya ada beberapa kerajaan berada di sana, seperti Kerajaan Selaparang dan Pejanggik.
Slametmulyana dalam bukunya Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979), menyebutkan sedikitnya sudah ditemukan empat naskah lain yang serupa, di beberapa geriya (kediaman pendeta Hindu) di Bali. Namun, naskah-naskah itu diduga merupakan turunan naskah Nagarakretagama, yang ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok. Isi Nagarakretagama diterapkan di Lombok demi membangun sistem pemerintahan dan sekaligus pertahanan menyerupai kerajaan Majapahit
Ini juga ditujukan demi menjadikan Lombok sebagai benteng mempertahankan ajaran Hindu di Bali, menyusul masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Jawa, yang ditandai dengan masuknya Raja Jenggala dan kerajaannya sebagai kerajaan Islam. Raja Kediri dan Raja Jenggala adalah bersaudara, kata Anak Agung Biarsah Huruju Amla Negantun, cucu Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem, Raja Lombok terakhir. Perbedaan agama, yang dianut masing-masing raja itu, diakui, menjadi salah satu penyebab meletusnya perang saudara di antara dua kerajaan ini.
”Dari cerita yang pernah saya dengar dari orang-orang tua, naskah ini dibawa leluhur saya dari Kediri waktu ekspedisi ke Lombok. Di dalamnya dijelaskan teknik peperangan dan teknik mengatur pemerintahan. Nagarakretagama dibawa ke Lombok untuk mengatur wilayah Lombok, dengan konsep pusat pertahanannya di Cakranegara,” tutur Agung Biarsah

sumber : http://lombok.sumbawanews.com/kerajaan-selaparang/

GRUP ORANG SUKU SASAK - LOMBOK DI FACEBOOK

Herman Shofyan
Bagi saudara-saudara pembaca blog Pemuda Sasak  ini yang merasa merupakan orang asli Lombok dan kini menetap di daerah lain. Ada beberapa Grup Orang-Orang Sasak di facebook sebagai tempat kumpul dengan sesama saudara se asal melalui dunia maya. Dengan masuk kedalam grup-grup facebook ini mungkin kerinduan sudara pada tanah kelahiran akan sedikit terobati. Saya yakin saudar sekalian yang merasa orang sasak akan sangat tertarik untuk memasuki grup-grup ini. Berikut beberapa grup orang-orang sasak difacebook, bergabunglah dari sekarang.

1. SEJARAH SASAK-LOMBOK
Grup ini sekarang beranggotakan 719 orang. Silahkan gabung langsung dengan mengklik oto grup yang saya sajikan disamping.






2. PEMBASAK (Pengemban Adat dan Budaya Sasak)
Grup ini banyak mendiskusikan masalah budaya sasak. Grup ini kini beranggotakan 447 orang. Langsung ganbung dengan klik foto grup disamping.





3. SASAK COMUNITY
Anggota sebanyak 1.224, silahkan gabung dengan klik foto disamping.











4. KOMUNITAS SASAK
Grup ini beranggotakan 853 orang, silhkan ikut bergabung dengan klik gambar diatas.
5. BANJAR DENGAN LAUQ (BDL)
Grup ini beranggotakan 70 orang, anggotanya sedikit disebabkan karena grup ini mulanya hanya diperuntukkan untuk orang lombok kawasan selatan. Jika anda tertarik dengan grup ini, silahkan klik gambar disamping.









Karena waktu saya yang terbatas pagi ini, jadi saya hanya menampilkan 5 dari sekian banyak grup orang sasak-lombok di facebook. Jika ada saudara yang ingin lebih banyak lagi, silahkan add facebook saya : 


SELAQ ATAU LEAK DALAM KEHIDUPAN TRADISIONAL MASYARAKAT SASAK

Herman Shofyan
Selaq berasal dari kata salaq (salah) karena Ilmu Selaq termasuk syirik. Ilmu ini bertentangan dengan ajaran agama karena bergelut dengan setan dan jin. Ilmu ini bisa membuat manusia berimajinasi menjadi apapun termasuk terbang, merayap dan berubah bentuk menjadi binatang tergantung jenis Ilmu Selaq yang dipelajari. Ilmu Selaq identik dengan ilmu hitam yang dipelajari untuk meneror orang yang tidak disukainya. Selaq seringkali membuat masyarakat takut. Ilmu ini bisa didapatkan dengan berguru, faktor keturunan dengan tanpa mempelajarinya dan ada juga yang menular. Contohnya jika kita tidur dengan orang yang mempunyai Ilmu Selaq, kita harus berhati-hati, karena dengan cara melangkahi, orang yang tidak tahu Ilmu Selaq dengan sendirinya akan tertular ilmu tersebut.
Selaq
Selaq biasanya keluar pada malam hari. Sebelum beraksi mereka menyiapkan segala sesuatunya. Dari informasi yang kami peroleh, Selaq menyiapkan air di tangkel (batok kelapa) yang berisi bunga-bunga dan dibacakan mantra. Usai beraksi, mereka mandi dengan air tersebut agar kembali berubah menjadi sediakala, kalau tidak maka mereka tidak bisa berubah menjadi manusia.
Orang Selaq bisa berubah wujud menjadi berbagai macam bentuk, ada yang jadi anjing, babi, monyet, ayam, sapi bahkan sepeda motor dan lain sebagainya dengan bentuk yang tidak wajar. Penuturan dari beberapa massa, misalnya Selaq berubah menjadi anjing, tapi lebih besar dari anjing sebenarnya. Ada satu bagian yang tidak bisa berubah dari tubuhnya yaitu tumit. Ada beberapa faktor yang membuat orang mempelajari Ilmu Selaq: Pertama Hanya untuk bersenang-senang, kedua menyakiti orang lain, ketiga memperoleh Ilmu Kanuragan.

Ilustrasi proses berubah Selaq
Ilustrasi proses berubah Selaq

Selaq dapat berubah
Selaq dapat wujud menjadi berbagai macam bentuk, misalnyaa anjing, babi, monyet, ayam, sapi, dll.
Menurut pandangan massa, Selaq terdiri dari beberapa macam seperti:
1.    Selaq Bonga (kapas); sering bertempur dengan sesama Selaq hingga salah satunya kalah hingga mati. Selaq Bonga hanya untuk adu kekuatan. Uniknya bila mati, matinya bukan ditempat berkelahi, melainkan dirumah Si Selaq.
2.    Selaq Bangke (bangkai); Selaq ini senang memakan bangkai, meminum bekas air memandikan mayat. Selaq ini senang mengganggu orang.
3.    Selaq Mopol (Selak yang hanya berkepala dan usus); Selaq jenis ini sering menakut-nakuti anak-anak, anak dibuat sakit. Kalau mau terbang selendangnya jadi sayap, suaranya seperti suara gendang.
4.    Selaq Beruang (Selaq yang punya Ilmu Santet Beruang); Selaq jenis ini memiliki Ilmu Santet. Ilmunya dinamakan Ilmu Santet Beruang karena media yang digunakan adalah kutu penghisap dan sasarannya akan merasa kesakitan pada bagian perut karena isi dalam perut  dibabat.
5.    Selaq Ate (hati); Selaq yang tidak bisa salah sedikit kemudian meneror dengan Santet.
Untuk menutupi kebiasaan ini, orang berilmu Selaq tetap menjalankan aktifitas beribadah bahkan terlihat lebih rajin dan hubungan sosialnya pun wajar-wajar saja. Tetapi di balik itu semua, hati tidak pernah bisa dibaca, dia selalu ingin menakuti dan menyakiti orang lain.
Selaq
Ilmu hitam atau Santet khas Lombok sangat dahsyat. Banyak orang Lombok mempergunakan santet ini karena gampang dipelajari. Masyarakat sering menggunakan jimat penangkal lmu gaib menggunakan jahe, bawang putih, merica bolong dan peniti dibungkus. Sebagian masyarakat juga berpendapat cara lain untuk melawan Selaq adalah dengan menggunakan daun kelor dan memukulkannya ke belakang, karena yang di depan kita hanya bayangan saja. Memukulnya pun cukup satu kali, sebab kalau dua kali akan menjadi obat bagi Selaq tersebut.

Sesajen Selaq
Sesajen Selaq
Pernah di suatu malam pada Bulan Ramadhan sekitar pukul 23.00 WITA, aku pulang dari masjid untuk buang air besar. Tiba-tiba bulu kudukku merinding mendengar sesuatu ada yang terbang di atas kepalaku, saat aku menolehkan kepala ke atas, aku tidak melihat sesuatu. Akhirnya kuputuskan untuk ke kamar mandi guna mensucikan diri, kebetulan WC terpisah dari kamar mandi. Tiba-tiba di pagi hari aku mendengar cerita dari rumah sebelah bahwa ada yang jatuh dari atas menimpa seng rumahnya dan ternyata yang jatuh itu adalah Selaq yang mau pulang kerumahnya. Kebetulan juga rumah Selaq itu tak jauh dari rumahku. Dan aku tahu orangnya, tapi aku tak mau menyebutkan namanya.
Selaq
Ada sebuah kisah, pada suatu malam seorang bapak setengah tua ingin melihat para Selaq mengadakan rapat, kebetulan Si Bapak ini sedikit bisa menangkal Ilmu Selaq. Bapak ini pun pergi melihatnya dengan tubuh telanjang, kerena dengan begitu dia tidak terlihat oleh para Selaq. Sampai di sana terlihat olehnya sekumpulan Selaq melayang di atas tanaman padi mengadakan rapat, tiba-tiba bapak ini bangun mengeruak dan para Selaq pun kabur tersebar ke mana-mana, terlihat olehnya sesuatu yang jatuh dan bapak ini melangkah mengambilnya, ternyata itu sebuah buku yang isinya daftar nama anggota para Selaq itu dan catatan tentang Ilmu-ilmu Selaq. Bapak ini pun selalu dicari-cari oleh para Selaq itu, karena ia mempunyai sedikit ilmu untuk menghadapinya, akhirnya bapak ini berinisiatif mengambil inti dari buku itu kemudian mengembalikannya kepada Si Selaq.

MAKNA TERSEMBUNYI DIBALIK TRADISI KAWIN LARI SUKU SASAK

Herman Shofyan

Dalam Proses Kawin Lari Pemuda sasak Wajib membawa senjata
Kalau Anda di Lombok dan ingin menikah curilah anak gadis itu, bawa lari tanpa sepengetahuan keluarganya, bila sehari semalam tidak ada kabar maka dianggap gadis itu telah menikah.Mencuri untuk menikah lebih kesatria dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Namun ada aturan dalam mencuri gadis di suku asli di Pulau Lombok.
Memang cukup unik dari suku Sasak penduduk asli warga di Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk urusan perjodohan suku ini menyerahkan semuanya pada anak, bila keduanya sudah saling suka, tidak perlu menunggu lama untuk menikah, curi saja anak gadis itu, pasti menikah. mencuri anak gadis itu lebih diterima keluarganya. Merarik istilah bahasa setempat untuk menyebutkan proses pernikahan dengan cara dicuri. Caranya cukup sederhana, jika keduanya saling menyukai dan tidak ada paksaan dari pihak lain, gadis pujaan itu tidak perlu memberitahukan kepada kedua orangtuanya. Bila ingin menikah langsung aja bawa gadis itu pergi dan tidak perlu izin. Mencuri gadis dengan melarikan dari rumah menjadi prosesi pernikahan yang lebih terhormat dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Ada rasa kesatria yang tertanam jika proses ini dilalui. Namun Jangan lupa aturan, mencuri gadis dan melarikannya biasanya dilakukan dengan membawa beberapa orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu. 
Dalam proses awal pencurian, tidak boleh ada siapapun diantara keluarga perempuan yang tahu. Membawa lari calon pengantin perempuan ini harus betul-betul tersembunyi, karena jika ada diantara keluarga atau pacar lain dari perempuan ini tahu maka akan terjadi tanding fisik antara pembawa lari dan orang lain yang mengetahui tersebut. Pacar lain yang saya maksud disini adalah lelaki-lelaki lain yang menaruh hati pada perempuan ini sebelumnya. Perempuan sasak bisa mempunyai pacar yang banyak, tidak ada istilah cemburu dalam kehidupan pemuda suku sasak sebelum betul-betul menjadi istri. Seperti misalnya seorang perempuan bernama 'anu' setiap malam diapelin sepuluh laki-laki. Tapi, jika mereka tahu bahwa si 'anu' dibawa lari, maka disitulah kecemburuan akan muncul, maka dari itu proses kawin lari ini harus betul-betul rahasia.

Rombongan Nyelabar
Dan gadis itu tidak boleh dibawa langsung ke rumah lelaki, harus dititipkan ke kerabat laki-laki. Setelah sehari menginap pihak kerabat laki-laki mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan sebagai pemebritahuan nahwa anak gadisnya dicuri dan kini berada di satu tempat tetapi tempat menyembunyikan gadis itu dirahasiakan, tidak boleh ketahuan keluarga perempuan. Nyelabar, Istilah bahasa setempat untuk pemberitahuan itu, dan itu dilakukan oleh kerabat pihak lelaki tetapi orangtua pihak lelaki tidak diboleh ikut. Rombongan Nyelabar terdiri lebih dari 5 orang dan wajib mengenakan pakaian adat. Rombongan tidak boleh langsung datang kekeluarga perempuan.Rombongan terlebih dahulu meminta izin pada Kliang atau tetua adat setempat, sekedar rasa penghormatan kepada kliang, datang pun ada aturan rombongan tidak diperkenankan masuk ke rumah pihak gadis. Mereka duduk bersila dihalaman depan, satu utusan dari rombongan itu yang nantinya sebagai juru bicara menyampaikan pemberitahuan. Memang unik budaya yang ada di Suku Sasak namun kini ada pergeseran budaya Merarik, seperti adanya prosesi meminta kepada orangtua dan bertunangan yang sebelumnya kurang dikenal oleh suku sasak. Tetapi seiring berkembangnya budaya luar dari masyarakat perantau yang datang dan menetap Akulturasi Budaya mulai terjadi. Lahirlah istilah sudah menikah tetapi belum nikah adat. Artinya prosesi menikah itu dilakukan dengan cara meminang tetapi belum menikah secara Merarik, mencurinya dari rumah si Perempuan. Ini Akulturasi Budaya yang muncul, meminang dan mencuri anak gadis prosesi nikan yang dujalankan bersamaan.
 
Ada kearifan-kearifan lokal yang terkandung dalam budaya ini antara lain :

1. Tidak ada unsur paksaan dari orang tua dalam hal menentukan jodoh anak, anak diberikan keleluasaan untuk memilih pilihan hatinya.
2. Menunjukkan sifat ksatria dari pemuda sasak yang akan melarikan seorang gadis. Karena Ksatrialah yang berani melakukan perbuatan penuh resiko ini.
3. Membuat orang tua selalu menjaga anak gadisnya jika ia belum ingin anaknya menikah.
4. Menghindari pergaulan bebas karena tidak boleh ada seorangpun diluar muhrim yang bisa membawa seorang anak gadis pergi berkencan,   jika itu terjadi maka keduanya harus menikah.
5. Masyarakat sasak betul-betul menghargai tentang apa yang tidak boleh dilakukan terhadap apa yang belum menjadi haknya.

KLUB FACEBOOK BANJAR DENGAN LAUQ (BDL)

Herman Shofyan

BDL FACEBOOK CLUB

 
BDL atau Banjar Dengan LauqAdalah sebuah Grup Facebook orang-orang desa Wakan dan Sukaraja, sebuah desa terpencil di Lombok Timur bagian selatan. Grup ini didirikan oleh seorang pemuda gagah per kasa putra asli desa wakan yang bernama Shofyan Abdullah

Jika Anda merasa Putra/Putri Desa Wakan Atau Desa Sukaraja, Silahkan bergabung kedalam Grup BDL DISINI

GAMBAR MOTIF KAIN TENUN SASAK LOMBOK SECARA UMUM

Herman Shofyan

MOTIF KAIN TENUN SASAK LOMBOK

Indonesia adalah negara yang memiliki banyak suku, setiap suku di Indonesia memiliki ciri-ciri tersendiri seperti contohnya motif kain tenun. Kain tenun Suku Sasak memiliki motif yang unik dan tidak sama dengan motif dari Suku lainnya di Indonesia, berikut ini saya perlihatkan motif umum yang sering dipakai sebagai motif kain tenun Suku Sasak.

FENOMENA ILMU KEBATHINAN SASAK DALAM DUNIA MODERN

Herman Shofyan

FENOMENA ILMU KEBAL SASAK DALAM DUNIA MODERN


Ilmu kebal atau ilmu tegeng dalam istilah Suku Sasak tidak bisa dipungkiri memang masih ada dan dipelajari banyak lelaki sasak sampai saat ini. Terutama bagi lelaki sasak yang tinggal di desa-desa terpencil dan rawan dari ancaman keamanan seperti pencurian dan perampokan. Ilmu kebal sendiri sudah menjadi ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap pemuda sasak yang memasuki usia baligh disebagian desa seperti misalnya desa saya. Didesa saya Ilmu kebathinan biasanya dipelajari pada bulan Maulid(Rabiul awal) dan Bulan Lalang(bulan Kosong antara Bulan ke 12 dan Bulan ke 1 penanggalan sasak), selama satu minggu diawali pada hari jum'at.

Selama Proses Pelajaran Ilmu berlangsung, sang murid tidak boleh memakan garam, diasingkan dari masyarakat, dan mandi 7 kali pada setiap malamnya disumur-sumur berbeda. Hal yang paling utama dan harus diperhatikan adalah sabuk tenun berwarna putih yang harus selalu melekat ditubuh selama proses  berguru berlangsung baik saat tidur maupun mandi. pada hari ke tujuh, murid akan di tes kekebalannya dengan senjata tajam untuk membuktikan jadi tidaknya ilmu tersebut pada tubuh sang murid.

Keadaan Lombok kawasan selatan yang jarak antar kampungnya cukup renggang membuat sering terjadinya penghadangan sepeda motor oleh para perampok dimalam hari bahkan pula ada yang terjadi siang hari. Sebagai seorang laki-laki sejati, sangat memalukan jika kita menyerahkan apa yang kita miliki begitu saja kepada sang perampok tanpa melakukan perlawanan. Sehingga dibagi setiap laki-laki, membekali diri dengan ilmu kebal dan sebilah parang dalam perjalanan malam hari adalah suatu kewajiban.

PETARUNG DARI SUKU SASAK

Herman Shofyan
BUDAYA TARUNG PERESEAN

Gladiator dari Suku Sasakperesean sesungguhnya lebih mirip aksi gladiator zaman Romawi Kuno, tapi minus pedang. Senjata yang dipakai dalamperesean hanyalah penjalin (rotan) untuk pemukul, dan perisai (ende) yang terbuat dari kayu yang dilapisi kulit sapi.

Pertarungan peresean sangat agresif. Diiringi tabuhan gamelan yang provokatif dan menggugah semangat tarung. Alat musik pengiringnya antara lain kendang, suling, gong, rincik/simbal, serta kajar.

Di arena peresean, para petarung sa ling serang untuk menjatuhkan lawan. Sesekali mereka menari-nari setelah mendapatkan sabetan penjalin untuk mengaburkan rasa sakit.

Memukul kepala lawan menjadi sasaran utama agar meraih kemenangan mutlak. Penonton peresean selalu terbawa emosi perang dan andrenalinnya tergugah saat menyaksikan para petarung saling serang.

Petarung yang andal (pepadu) meng akhiri pertarungannya dengan bekas pukulan penjalin yang mengerikan. Bilur-bilur merah tampak pada kulit bagian punggung dan tangan, bahkan ada yang sampai menyobek lapisan kulit. Beberapa pulang dengan kepala bocor dan harus mendapatkan jahitan tim medis yang sudah siap di sekitar arena peresean.

Pepadu tidak juga mengutamakan menang atau kalah. Mereka juga tidak mengejar hadiah. Pepadu bertarung untuk hiburan.

Di arena peresean, pepadu lebih menonjolkan spor tivitas dan mengasah mental. Meskipun berdarah-darah, pertarungan tidak akan dilanjutkan di luar arena. Tidak ada istilah balas dendam. Sudah dijamin, adu ketangkasan yang berisiko tinggi itu hanya terjadi di dalam arena.

Peresean dipimpin seorang wasit (pekembar). Pekembar ada dua, yaitu wasit pinggir (pekembar sedi) yang mencari pasangan petarung yang akan diadu di arena, dan wasit tengah (pekembar tengah) yang memimpin pertandingan.

Pekembar yang memimpin pertarungan akan membunyikan peluit saat akan menghentikan pertarungan. Peresean untuk pemula hanya berlangsung tiga ronde. Tetapi untuk level senior, para pepadu akan bermain empat ronde. Pemula biasanya hanya mencari lawan tanding secara acak di sekitar arena pertarungan. Biasanya ditunjuk dari penonton yang semuanya memang sudah siap bertarung jika mendapatkan lawan tanding yang seimbang.

Untuk event besar, para pepadu luar daerah dari seluruh Nusa Tenggara Barat akan diundang. Biasanya saat digelar acara seperti itu, para pepadu senior akan turun gunung mewakili daerah masing-masing.

Jika para pepadu senior bertarung, sudah dijamin pertarungan akan mene gangkan. Jika pepadu ditunjuk bertarung dan diberi lawan, mereka pun pantang menolak. Pepadu akan masuk arena dan memulai pertarungan.

Peresean dari suku Sasak tidak hanya mengandalkan mental, tetapi juga fi sik, teknik bertarung, dan mistis. Sebab, pepadu tidak dilarang membawa jimat kekebalan dan arena peresean kerap dipakai untuk adu sakti antar-pepadu.

Sering kali terjadi, ketika pepadu sudah berada di dalam arena, pertarungan tidak dilanjutkan karena salah satu di antara pepadu merasa kalah secara mistis. Senjata penjalin yang dipakainya berubah menjadi lembek dan tidak bisa dipakai bertarung.

Pertarungan peresean juga merupakan ajang mempertahankan harga diri pepadu. Tiap pepadu memiliki teknik untuk menghindari kekalahan yang memalukan. Untuk itu, mereka mengikat kepala memakai sapuq dengan teknik tersendiri agar ketika terkena kepala dan membuat bocor, tidak terlihat oleh penonton.

Pepadu yang sudah terkenal di Pulau Lombok biasanya memiliki nama julukan. Seperti sebutan Arya Kamandanu dan Piring Nadi. Julukan tersebut diberikan sesuai dengan kelihaian bertarung di arena peresean.

Salah satu pepadu yang memiliki julukan Piring Nadi menceritakan penga lamannya, bahwa saat bertarung di arena, ia menggunakan jurus bertarung untuk mengalahkan lawan. Salah satu jurus sederhananya adalah membuat pukulan tipuan agar bisa melukai lawan.

Peresean terus lestari di Pulau Lombok Hingga sekarang, seni tradisi masa lampau itu masih dimainkan paling tidak saat perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, musim kemarau untuk memohon hujan, pensucian benda-benda pusaka dan masih banyak lagi. Tujuannya bukan untuk jago-jagoan, melainkan hanya untuk hiburan dan mengetes mental para pemuda.

Sentra Kerajinan Tradisional Kabupaten Lombok Timur

Herman Shofyan
SENTRA KERAJINAN TRADISIONAL LOMBOK TIMUR 
 

Patung dusun Senanti
undefined Dusun Senanti terlelat di di desa Sukaraja kecamatan Jerowaru sekitar 25 Km ke arah selatan kota Selong.Dusun ini terkenal karena seni patung tradisionalnya yang unik dan bernilai seni tinggi, mirip dengan patung suku Asmat di Papua. Sekarang Pengerajin patung di dusun Senanti tidak sebanyak dulu lagi, hal tersebut disebabkan oleh bayak faktor diantaranya bahan baku pembuatan yang sulit, masyarakat lebih banyak berganti profesi menjadi petani tembakau, krisis ekonomi pada awal-awal reformasi yang membuat harga patung turun dan menyebabkan kerugian, dan juga kesadaran masyarakat tentang larangan membuat patung dari Agama Islam yang mereka anut. Saat saya masih menuntut ilmu di SMAN I JEROWARU dulu, saya memiliki banyak teman dari dusun ini. Mereka rata-rata bisa membuat patung dengan hasil yang menakjubkan. Hal yang lucu dari teman-teman saya dari dusun senanti adalah ketika mereka bisa memamfaatkan potongan-potongan kayu yang tak berharga dmenjadi begitu istimewa. Seniman patung Senanti mewarisi keahlian membuat patung dari nenek moyang mereka, dan patung-patung yang dihasilkan berupa patung kayu dengan material kayu Lian, Mahoni, Bajur dan kayu Jati. Para pembeli dapat memesan langsung patung sesuai dengan keinginan mereka, pembeli ini tidak hanya berasal dari pulau Lombok namun banyak yang berasal dari berbagai daerah seperti Bali, Jogjakarta, Jakarta serta dari turis domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke dusun ini.
  
Kerajinan Gerabah Penakak
Desa Penakak kecamatan Masbagik (berjarak sekitar 7km dari kota Selong) merupakan pusat kerajinan gerabah yang terkenal di NTB bahkan hingga ke mancanegara. Kerajinan gerabah ini dibuat dari tanah liat dan telah menembus pasar ekspor seperti ke Australia,Amerika dan Eropa, sementara untuk pasar domestik gerabah Penakak telah merambah ke Bali, Surabaya, Jogja, Semarang,Makasar dan Medan. Industri gerabah ini telah memenuhi standar mutu internasional dan desainnya disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Jenis gerabah yang dihasilkan seperti dulang, kaling, asbak, vas bunga, mangkuk,gentong, ornamen rumah dan lain sebagainya. Banyak wisatawan yang berkunjung ke Penakak selain bertujuan untuk membeli gerabah juga untuk melihat proses pembuatan gerabah mulai dari proses pemilihan tanah liat hingga proses pembakaran.
  
Kerajinan Anyaman Bambu Desa Loyok
Desa Loyok terletak di kecamatan Sikur, sekitar 14km dari kota Selong dan dapat dijangkau dengan sarana transportasi umum. Sebagian besar warga desa loyok berprofesi sebagai perajin anyaman bambu, dan dari tangan-tangan trampil mereka dihasilkan berbagai macam produk anyaman bambu seperti tas, hiasan dinding, tatakan gelas, piring, asbak, hiasan lampu dan lain sebagainya. Selain dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari, produk anyaman bambu desa Loyok juga dapat dijadikan sebagai cinderamata. Karena nilai seni dan keunikannya kita dapat menjumpai produk anyaman bambu desa Loyok menghiasi kamar-kamar hotel berbintang dan kantor-kantor juga telah berhasil menembus pasar ekspor.
  
Tenun Gedogan Pringgasela
perajin kain tenun Gedogan tradisional Sasak dapat kita jumpai di desa Pringgasela kecamatan Pringgasela, sekitar 10 km arah utara kota Selong dan dapat dijangkau dengan transportasi umum. Kain tenun gedogan Pringgasela ini memiliki desain dan kualitas khusus. Konsumen dari Jepang dan Australia menyukai kain tenun Pringgasela karena dibuat dari bahan-bahan tradisional begitupun dengan proses pembuatannya yang menggunakan alat tenun tradisional. Benang untuk pembuatan kain tenun ini dipintal dengan tangan dan pewarnaannya masih menggunakan pewarna dari kulit kayu sehingga menghasilkan warna yang natural.
  
Kerajinan Anyaman Lontar Suradadi
undefined Desa Suradadi terletak di kecamatan Terara (sekitar 25km dari kota Selong)dan merupakan sentra anyaman daun lontar di Lombok Timur. Bila anda berkunjung ke desa ini anda akan melihat banyak daun lontar yang sedang dijemur begitu juga dengan hasil anyaman yang digantung di depan rumah warga, walaupun demikian ternyata tidak ada pohon lontar yang tumbuh di desa ini, daun lontar tersbut berasal dari pulau Sumbawa.Kaum pria Warga desa Suradadi bekerja sebagai petani, sementara wanita dan anak-anak membuat kerajinan anyaman daun lontar untuk menambah penghasilan keluarga. Produk kerajinan yang dihasilkan sebagian besar berupa peralatan rumah tangga seperti keranjang, tas, tudung saji, ceraken dan sebagainya. Kerajinan ini telah dipasarkan tidak hanya di sekitar pulau Lombok tetapi juga dapat anda jumpai di Bali bahkan telah diekspor ke beberapa negara.

Senjata Tradisional (Keris)

Herman Shofyan

Keris

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Keris
Sebilah keris Jawa (kanan) dengan sarung keris (warangka).
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.
Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.

Asal-usul dan fungsi

Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.

Awal mula: Pengaruh India-Tiongkok

Ge, belati-kapak dari Tiongkok Kuna (abad V SM sampai III SM), memperlihatkan pamor pada bilahnya.
Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuna dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris modern), sama dengan belati Dongson, dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.

Prototipe keris dari masa pra-Majapahit

Penggambaran benda mirip keris di relief Candi Borobudur.
Karya-karya ukir dari milenium pertama penanggalan Masehi kebanyakan menampilkan bentuk-bentuk senjata tikam dan "wesi aji" lainnya dari India. Meskipun demikian diketahui terdapat satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris.
Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan. Prasasti Poh (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.
Keris pusaka Knaud, salah satu contoh keris Buda.
Dalam pengetahuan perkerisan Jawa (padhuwungan), keris dari masa pra-Kadiri-Singasari dikenal sebagai "keris Buda" atau "keris sombro". Keris-keris ini tidak berpamor dan sederhana. Keris Buda dianggap sebagai bentuk pengawal keris modern. Contoh bentuk keris Buda yang kerap dikutip adalah milik keluarga Knaud dari Batavia yang didapat Charles Knaud, seorang Belanda peminat mistisisme Jawa, dari Sri Paku Alam V. Keris ini memiliki relief tokoh epik Ramayana pada permukaan bilahnya dan mencantumkan angka tahun Saka 1264 (1342 Masehi), sezaman dengan Candi Penataran, meskipun ada yang meragukan penanggalannya.
Relief rendah di Candi Penataran, Blitar. Perhatikan bagian hulu senjata yang tidak simetris dan bilah yang langsing menunjukkan ciri keris modern.
Keris Buda memiliki kemiripan bentuk dengan berbagai gambaran belati yang terlihat pada candi-candi di Jawa sebelum abad ke-11. Belati pada candi-candi ini masih memperlihatkan ciri-ciri senjata India, belum mengalami "pemribumian" (indigenisasi). Adanya berbagai penggambaran berbagai "wesi aji" sebagai komponen ikon-ikon dewa Hindu telah membawa sikap penghargaan terhadap berbagai senjata, termasuk keris kelak. Meskipun demikian, tidak ada bukti autentik mengenai evolusi perubahan dari belati gaya India menuju keris buda ini.
Kajian ikonografi bangunan dan gaya ukiran di masa Kadiri-Singasari (abad ke-13 sampai ke-14) menunjukkan kecenderungan pemribumian dari murni India menuju gaya Jawa, tidak terkecuali dengan bentuk keris. Salah satu patung Siwa dari periode Singasari (abad ke-14 awal) memegang "wesi aji" yang mirip keris, berbeda dari penggambaran masa sebelumnya. Salah satu relief rendah (bas-relief) di dinding Candi Penataran juga menunjukkan penggunaan senjata tikam serupa keris. Candi Penataran (abad ke-11 sampai ke-13 M) dari masa akhir Kerajaan Kadiri di Blitar, Jawa Timur.

Keris modern

Belati tikam dan keris koleksi istana Pagarruyung. Belati tikam telah dikenal dari milenium pertama di Nusantara.
Keris modern yang dikenal saat ini diyakini para sejarawan memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kesultanan Mataram baru (abad ke-17-18), meskipun relief di Candi Bahal peninggalan Kerajaan Panai/Pane (abad ke-11 M), sebagai bagian dari kerajaan Sriwijaya, di Portibi Sumatera Utara, menunjukan indikasi bahwa pada abad 10-11 keris sebagaimana yang dikenal sekarang sudah menemukan bentuknya. Dari abad ke-15, salah satu relief di Candi Sukuh, yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Hal ini menjadi alasan para ahli untuk menyatakan bahwa bentuk keris yang dikenal sekarang telah mencapai perkembangan modernnya pada masa Majapahit.
... . Orang-orang ini [Majapahit] selalu mengenakan pu-la-t'ou yang diselipkan pada ikat pinggang. [...], yang terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan bergaris-garis halus pada daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading yang diukir berbentuk manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat halus dan rajin.
— Ma Huan, "Ying-yai Sheng-lan Fai"
Catatan Ma Huan dari tahun 1416, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan "belati" (pu-la-t'ou) yang diselipkan pada ikat pinggang. Terdapat deskripsi yang menunjukkan bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik. Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.
Berita-berita Portugis dan Prancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara.
... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal...
— Tome Pires, "Suma Oriental"

 Perkembangan fungsi keris

Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.
Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.
Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten.
Laporan Perancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatera (khususnya Kesultanan Aceh). Godinho de Heredia dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa orang-orang Melayu penghuni Semenanjung ("Hujung Tanah") telah memberikan racun pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris dengan batu permata.
"Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api. Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup. Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris.
Berbagai cara mengenakan keris berdasarkan Kebudayaan Jawa.
Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai tosan aji atau "benda keras (logam) yang luhur", bukan sebagai senjata. Keris adalah dhuwung, bersama-sama dengan tombak; keduanya dianggap sebagai benda "pegangan" (ageman) yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam pada masa lalu. Di Malaysia, dalam kultur monarki yang kuat, keris menjadi identitas kemelayuan.
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.

Bahan, pembuatan, dan perawatan

Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris adalah besi dan baja. Untuk membuatnya ringan para empu selalu mencampur bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai campuran nikel. Keris masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki campuran batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi. Tahap terakhir, yaitu nyepuhi, dilakukan agar keris tampak tua. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Nyepuhi ("menuakan") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Nyepuhi juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung empu yang membuat). TIndakan nyepuhi harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat keris retak.
Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.

Morfologi

Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia.
Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja ("penopang"), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.
Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.
Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.

Pegangan keris atau hulu keris
Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu mirah delima.
Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.

  • Warangka atau sarung keris
Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar : kumpang), adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.
Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).
Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran ) .
Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

  • Wilah
Keris Moro (kalis) dari Sulu, bilah tidak dituakan dan tidak berpamor.
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll.
Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.
Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.

Pasikutan, tangguh keris, dan perkembangan di masa kini

Yang dimaksud dengan pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud suatu keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya. Kemampuan menengarai pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada panangguhan keris.
Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai tangguh. Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu. "Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka, meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik keris atau empunya.
Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan.
Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah tangguh Buda (atau keris Buda). Keris modern pusaka tertua dianggap berasal dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika sebagian Jawa Tengah masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh. Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris yang bertahan.
Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T. Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani, melalui perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji. Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta).
Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai keris kamardikan ("keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari Solo seperti KRT. Supawijaya (Solo), Pauzan Pusposukadgo (Solo), tim pandai keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Solo), Suparman Wignyosukadgo (Solo).

Dikutip dari Wikipedia